KOMITMEN ORGANISASI
DIAJUKAN UNTUK TUGAS MATA KULIAH M O
DISUSUN
OLEH:
INDRA UTAMA TJ (22. 12. 3. 041)
HARUN NAZMI AKBAR (22. 12. 2. 0 )
ZULKIFLI RITONGA (22. 12. )
JURUSAN PERBANDINGAN HUKUM DAN MAZHAB (PHM-B) SEM. V FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMUT (IAIN-SU) 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat serta karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Komitment Organisasi ”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada pembaca yang telah berperan serta dalam membahas makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Medan
13 Oktober 2014
Penulis
Penulis
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. vi
Daftar Isi
…………………………………………………………… vii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
A.
Latar
Belakang …………………………………………………. . 1
B.
Tujuan Pembuatan
Makalah ……………………..……………… 1
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………….. 2 A. Definisi Komitmen Organisasi ………....………………………. . 2
B. Dimensi Pemikiran …………………………………………..… 2
C. Pembentukan Komitmen …………………………………......... 3
D. Faktor-faktor yang
mempengaruhi …………………………….. 5
E. Cara membentuk komitmen
……………………………………. 9
BAB III
KESIMPULAN …………………………………………………… 12
DAFTAR KEPUSTAKAAN …………….………………………………………… 13
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Komitmen adalah sesuatu yang
membuat seseorang membulatkan hati, bertekad berjerih payah, berkorban
dan bertanggung jawab demi mencapai tujuan dirinya dan tujuan
organisasi atau perusahaan yang telah disepakati atau ditentukan sebelumnya.
Komitmen memiliki peranan penting
terutama pada kinerja seseorang ketika bekerja, hal ini disebabkan
oleh adanya komitmen yang menjadi acuan serta dorongan yang membuat
mereka lebih bertanggung jawab terhadap kewajibannya.
Namun kenyataannya banyak
organisasi atau perusahaan yang kurang memperhatikan mengenai komitmen/
loyalitas karyawannya/ Anggotanya sehingga kinerja mereka kurang maksimal.
Seharusnya organisasi atau
perusahaan ketika melakukan perekrutan hendaknya mereka memilih calon–calon
yang komitmennya tinggi pada perusahaan, ini dimaksudkan untuk mendeteksi sejak
dini pekerja yang kurang maksimal sehingga tidak terjadi hal yang dapat
merugikan organisasi atau perusahaan.
Melihat begitu pentingnya
komitmen, maka kami akan membahas lebih jauh mengenai komitmen dalam makalah
ini.
B. Rumusan
Masalah
Bendasarkan latar belakang masalah
diatas, penulis menentukan rumusan masalah sebagai berikut :
a) Untuk mengetahui pengertian
komitmen?
b) Untuk mengetahui bentuk – bentuk
komitmen?
c) Untuk mengetahui proses terjadinya
komitmen?
C. Untuk Mengetahui faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi komitmen?
D. Tujuan Pembuatan Makalah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Beberapa
pendapat para ahli mengenai komitmen
1. Komitmen Komitmen
berasal dari kata Latin “Committer” yang berarti menggabungkan,
menyatukan, mempercayai dan mengerjakannya (Snyder; 1994:97).
2. Komitmen merupakan
“ikatan psikologis” dengan sebuah organisasi (Gruen cs. 2000) dalam Bansal et. al
2004 Komitmen juga merupakan sikap yang menuntun atau menengahi respon nyata
seseorang atau niat perilaku seseorang terhadap suatu benda.
3. Komitmen adalah
sesuatu yang membuat seseorang membulatkan hati,bertekad berjerih payah, berkorban
dan bertanggung jawab demi mencapai tujuan.
4. Robbins (2001)
menyebutkan Komitmen adalah tingkatan di mana seseorang
mengidentifikasikan diri dengan organisasi dan tujuantujuannyua dan
berkeinginan untuk memelihara keanggotaannya dalam organisasi.
5. Bansal, Irving
dan Taylor (2004) mendefenisikan Komitmen sebagai kekuatan yang
mengikat seseorang pada suatu tindakan yang memiliki relevansi dengan satu atau
lebih sasaran.
Jadi
pengertian komitmen lebih dari sekedar menjadi anggota saja, tetapi lebih dari
itu orang akan bersedia untuk mengusahakan pada derajat upaya yang tinggi bagi
kepentingan organisasi, demi memperlancar mencapai tujuan organisasi.
B. DIMENSI
PEMIKIRAN
Dimensi Komitmen Dalam Berorganisasi
Meyer dan Allen (1991) merumuskan tiga dimensi komitmen
dalam berorganisasi, yaitu: affective, continuance, dan normative. Ketiga hal
ini lebih tepat dinyatakan sebagai komponen atau dimensi dari komitmen
berorganisasi, dari pada jenis-jenis komitmen berorganisasi. Hal ini disebabkan
hubungan anggota organisasi dengan organisasi mencerminkan perbedaan derajat
ketiga dimensi tersebut.
a) Affective commitment
Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional
anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan
keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan
affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi
karena memang memiliki keinginan untuk itu (Allen & Meyer, 1997).
b) Continuance commitment
Continuance commitment berkaitan dengan kesadaran anggota
organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota
organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota
dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota
organisasi tersebut (Allen & Meyer, 1997).
c) Normative commitment
Normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan
untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative
commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena
merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut (Allen & Meyer,
1997).
C. PEMBENTUKAN KOMITMEN
Komitmen dalam berorganisasi dapat terbentuk karena
adanya beberapa faktor, baik dari organisasi, maupun dari individu sendiri.
Dalam perkembangannya affective commitment, continuance commitment, dan
normative commitment, masing-masing memiliki pola perkembangan tersendiri
(Allen & Meyer, 1997).
1.
Proses terbentuknya Affective commitment
Ada beberapa penelitian mengenai antecedents dari
affective commitment. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan tiga kategori
besar. Ketiga kategori tersebut yaitu :
Karakterisitik Organisasi. Karakteristik organisasi yang
mempengaruhi perkembangan affective commitment adalah sistem desentralisasi
(bateman & Strasser, 1984; Morris & Steers, 1980), adanya kebijakan
organisasi yang adil, dan cara menyampaikan kebijakan organisasi kepada
individu (Allen & Meyer, 1997). Dalam penelitian ini karakteristik
organisasi kepemudaan yang dilihat adalah aliran organisasi yang digunakan,
bagaimana praktek kelompok sel dalam organisasi tersebut dan bagaimana kedudukan
kelompok sel sebagai strategi organisasi.
Karakteristik Individu. Ada beberapa penelitian yang
menyatakan bahwa gender mempengaruhi affective commitment, namun ada pula yang
menyatakan tidak demikian (Aven, Parker, & McEvoy; Mathieu &Zajac dalam
Allen & Meyer, 1997). Selain itu usia juga mempengaruhi proses terbentuknya
affective commitment, meskipun tergantung dari beberapa kondisi individu
sendiri (Allen & Meyer, 1993), organizational tenure (Cohen; Mathieu &
Zajac dalam Allen & Meyer, 1997), status pernikahan, tingkat pendidikan,
kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja, dan persepsi individu mengenai
kompetensinya (Allen & Meyer, 1997)
Pengalaman Kerja. Pengalaman kerja individu yang
mempengaruhi proses terbentuknya affective commitment antara lain Job scope,
yaitu beberapa karakteristik yang menunjukkan kepuasan dan motivasi individu
(Hackman & Oldham, 1980 dalam Allen & Meyer, 1997). Hal ini mencakup
tantangan dalam pekerjaan, tingkat otonomi individu, dan variasi kemampuan yang
digunakan individu. Selain itu peran individu dalam organisasi tersebut
(Mathieu & Zajac, 1990 dalam Allen & Meyer, 1997) dan hubungannya
dengan atasan. Pengalaman berorganisasi individu didapatkan dari pelayanan yang
dilakukannya dalam organisasi tersebut dan juga interaksinya dengan anggota organisasi
lain seperti pemimpinnya.
2.
Proses terbentuknya Continuance commitment
Continuance commitment dapat berkembang karena adanya
berbagai tindakan atau kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan
organisasi. Beberapa tindakan atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua
variable, yaitu investasi dan alternatif. Selain itu proses pertimbangan juga
dapat mempengaruhi individu (Allen & Meyer, 1997).
Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu,
usaha ataupun uang, yang harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi.
Sedangkan alternatif adalah kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses
pertimbangan adalah saat di mana individu mencapai kesadaran akan investasi dan
alternatif, dan bagaimana dampaknya bagi mereka sendiri (Allen & Meyer,
1997).
Investasi dan alternatif yang dialami individu dalam
organisasi organisasi berbeda dengan organisasi lain. Investasi dan alternatif
yang terjadi lebih terkait dengan kegiatan-kegiatan khas organisasi
dibandingkan keuntungan materi atau kedudukan yang bisa didapat dari organisasi
profit biasa.
3.
Proses terbentuknya Normative commitment
Wiener (Allen & Meyer, 1997) menyatakan normative
commitment terhadap organisasi dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang
dirasakan individu selama proses sosialisasi (dari keluarga atau budaya) dan
selama sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam organisasi. Selain itu
normative commitment juga berkembang karena organisasi memberikan sesuatu yang
sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas kembali (Allen &
Meyer; Scholl dalam Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya adalah adanya
kontrak psikologis antara anggota dengan organisasinya (Argyris; Rousseau;
Schein dalam Allen & Meyer, 1997). Kontrak psikologis adalah kepercayaan
dari masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal balik memberi.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen dalam
berorganisasi karakteristik pribadi individu, karakteristik organisasi, dan
pengalaman selama berorganisasi (Allen & Meyer, 1997). Yang termasuk ke
dalam karakteristik organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijaksanaan
dalam organisasi, dan bagaimana kebijaksanaan organisasi tersebut
disosialisasikan. Karakteristik pribadi terbagi ke dalam dua variabel, yaitu
variabel demografis; dan variabel disposisional. Variabel demografis mencakup
gender, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang
bekerja pada suatu organisasi. Dalam beberapa penelitian ditemukan adanya
hubungan antara variabel demografis tersebut dan komitmen berorganisasi, namun
ada pula beberapa penelitian yang menyatakan bahwa hubungan tersebut tidak
terlalu kuat (Aven Parker, & McEvoy; Mathieu & Zajac dalam Allen &
Meyer, 1997).
Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai
yang dimiliki anggota organisasi (Allen & Meyer, 1997). Hal-hal lain yang
tercakup ke dalam variabel disposisional ini adalah kebutuhan untuk berprestasi
dan etos kerja yang baik (Buchanan dalam Allen & Meyer, 1997). Selain itu
kebutuhan untuk berafiliasi dan persepsi individu mengenai kompetensinya
sendiri juga tercakup ke dalam variabel ini. Variabel disposisional ini
memiliki hubungan yang lebih kuat dengan komitmen berorganisasi, karena adanya
perbedaan pengalaman masing-masing anggota dalam organisasi tersebut (Allen
& Meyer, 1997).
Sedangkan pengalaman berorganisasi tercakup ke dalam
kepuasan dan motivasi anggota organisasi selama berada dalam organisasi,
perannya dalam organisasi tersebut, dan hubungan antara anggota organisasi
dengan supervisor atau pemimpinnya (Allen & Meyer, 1997).
1.
Indikator Affective commitment
Individu dengan affective commitment yang tinggi memiliki
kedekatan emosional yang erat terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa
individu tersebut akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi
secara berarti terhadap organisasi dibandingkan individu dengan affective
commitment yang lebih rendah.
Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment
memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak
hadir atau absen dalam organisasi.
Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job
performance, atau hasil pekerjaan yang dilakukan, individu dengan affective
commitment akan bekerja lebih keras dan menunjukkan hasil pekerjaan yang lebih
baik dibandingkan yang komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne (Allen &
Meyer, 1997) menyatakan individu dengan affective commitment tinggi akan lebih
mendukung kebijakan perusahaan dibandingkan yang lebih rendah. Affective
commitment memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported dari
keseluruhan hasil pekerjaan individu (e.g., Bycio, Hackett, & Allen; Ingram,
Lee, & Skinner; Leong, Randall, & Cote; Randal, Fedor, &
Longenecker; Sager & Johnston dalam Allen & Meyer, 1997).
Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report
tingkah laku (Allen & Meyer; Meyer et al.; Pearce dalam Allen & Meyer,
1997) dan assesment tingkah laku (e.g., Gregersen; Moorman et al.; Munene;
Shore & Wayne dalam Allen & Meyer, 1997) karyawan dengan affective
commitment yang tinggi memiliki tingkah laku organizational citizenship yang
lebih tinggi daripada yang rendah.
Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell
(1983), Meyer et al. (1993) meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice,
loyalty, dan neglect. Dalam penelitian yang diadakan pada perawat, affective
commitment ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan keinginan untuk
menyarankan suatu hal demi kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal
sebagaimana adanya mereka (loyalty) dan berhubungan negatif dengan tendency
untuk bertingkah laku pasif ataupun mengabaikan situasi yang tidak memuaskan
(neglect).
Individu dengan affective commitment yang tinggi
cenderung untuk melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan
kepada bagian yang berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external
whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan atau kesalahan perusahaan pada
pihak yang berwenang).
Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment yang
tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress yang dialami anggota
organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly &
Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).
2.
Indikator Continuance commitment
Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan
bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya
kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika
meninggalkan organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak
dapat diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada
organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada
tahap selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang
dapat menyebabkan kinerja yang buruk. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa
continuance commitment tidak berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif
pada kehadiran anggota organisasi atau indikator hasil pekerjaan selanjutnya,
kecuali dalam kasus-kasus di mana job retention jelas sekali mempengaruhi hasil
pekerjaan.
Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan
lebih bertahan dalam organisasi dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer,
1997). Continuance commitment tidak mempengaruhi beberapa hasil pengukuran
kerja (Angle & Lawson; Bycio et al.; Morrman et al. dalam Allen &
Meyer, 1997). Berdasarkan beberapa penelitian continuance commitment tidak
memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak
hadir atau absen dalam organisasi.
Continuance commitment tidak berhubungan dengan tingkah
laku organizational citizenship (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997),
sedangkan dalam penelitian lain, kedua hal ini memiliki hubungan yang negatif.
Continuance commitment juga dianggap tidak berhubungan dengan tingkah laku
altruism ataupun compliance, di mana kedua tingkah laku tersebut termasuk ke
dalam organizational citizenship ataupun extra-role.
Komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota
organisasi merespon ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan
(Allen & Meyer, 1997). Continuance commitment tidak berhubungan dengan
kecenderungan seorang anggota organisasi untuk mengembangkan suatu situasi yang
tidak berhasil ataupun menerima suatu situasi apa adanya (Allen & Meyer,
1997). Hal menarik lainnya, semakin besar continuance commitment seseorang,
maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak
berjalan dengan baik.
3.
Indikator Normative commitment
Individu dengan normative commitment yang tinggi akan
tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau
tugas. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan
memotivasi individu untuk bertingkahlaku secara baik dan melakukan tindakan
yang tepat bagi organisasi. Namun adanya normative commitment diharapkan
memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job
performance, work attendance, dan organizational citizenship. Normative commitment
akan berdampak kuat pada suasana pekerjaan (Allen & Meyer, 1997).
Hubungan antara normative commitment dengan
ketidakhadiran seseorang jarang sekali mendapat perhatian. Normative commitment
dianggap memiliki hubungan dengan tingkat ketidakhadiran dalam suatu penelitian
(Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997). Namun suatu penelitian lain
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variable tersebut (Hackett et
al.; Somers dalam Allen & Meyer, 1997).
Sedikit sekali penelitian yang mengukur normative
commitment dan role-job performance. Berdasarkan hasil penelitian normative
commitment berhubungan positif dengan pengukuran hasil kerja (Randall et al.,
dalam Allen & Meyer, 1997) dan pengukuran laporan kerja dari keseluruhan
pekerjaan (Ashfort & Saks dalam Allen & Meyer, 1997).
Normative
commitment memiliki hubungan dengan tingkah laku organizational citizenship
(Allen & Meyer, 1997). Walaupun demikian hubungan antara normative
commitment dengan tingkah laku extra-role lebih lemah jika dibandingkan
affective commitment.
Berdasarkan beberapa penelitian, sama seperti affective
commitment, normative commitment yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan
stress anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski;
Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang
negatif antara komitmen terhadap organisasi dengan intensi untuk meninggalkan
organisasi dan actual turnover (Allen & Meyer; Mathieu & Zajac; Tett
& Meyer dalam Allen & Meyer, 1997). Meskipun hubungan terbesar terdapat
pada affective commitment, terdapat pula hubungan yang signifikan antara
komitmen dan turnover variable diantara ketiga dimensi komitmen (Allen &
Meyer, 1997). Sebagian besar organisasi menginginkan anggota yang berkomitmen,
dan tidak hanya bertahan dalam organisasi saja.
E. CARA
MEMBENTUK KOMITMEN
Tidak ada satu pimpinan organisasi manapun
yang tidak menginginkan seluruh jajaran anggotanya tidak memiliki komitmen yang
kuat terhadap organisasi/perusahaan mereka. Bahkan sampai sejauh ini banyak
pimpinan organisasi sedang berusaha menggiatkan peningkatan komitmen anggotanya
terhadap organisasi. Menurut Martin dan Nicholls (dalam Armstrong, 1991)
menyatakan bahwa ada 3 (tiga) pilar untuk membentuk komitmen seseorang terhadap
organisasi, yaitu:
1) Menciptakan rasa kepemilikan
terhadap organisasi, untuk menciptakan kondisi ini orang harus mengidentifikasi
dirinya dalam organisasi, untuk mempercayai bahwa ada guna dan manfaatnya
bekerja di organisasi, untuk merasakan kenyamanan didalamnya, untuk mendukung
nilai-nilai, visi, dan misi organisasi dalam mencapai tujuannya. Salah satu
faktor penting dalam menciptakan rasa kepemilikan ini adalah meningkatkan
perasaan seluruh anggota organisasi bahwa perusahaan (organisasi) ini adalah
benar-benar merupakan “milik” mereka. Kepemilikan ini tidak sekedar dalam
bentuk kepemilikan saham saja (meskipun kadangkala ini juga merupakan cara yang
cukup membantu), namun lebih berupa meningkatkan kepercayaan di seluruh anggota
organisasi bahwa mereka benar-benar (secara jujur) diterima oleh manajemen
sebagai bagian dari organisasi. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk itu,
mengajak mereka anggota organisasi untuk terlibat memutuskan penciptaan dan
pengembangan produk baru, terlibat memutuskan perubahan rancangan kerja dan
sebagainya. Bila mereka anggota organisasi merasa terlibat dan semua idenya
dipertimbangkan maka muncul perasaan kalau mereka ikut berkontribusi terhadap
pencapaian hasil. Apalagi ditambah dengan kepercayaan kalau hasil yang
diperoleh organisasi akan kembali pada kesejahteraan mereka pula.
2) Menciptakan semangat dalam
bekerja, cara ini dapat dilakukan dengan lebih mengkonsentrasikan pada
pengelolaan faktor-faktor motivasi instrinsik dan menggunakan berbagai cara
perancangan pekerjaan. Menciptakan semangat kerja bawahan bisa dengan cara
membuat kualitas kepemimpinan yaitu menumbuhkan kemauan manajer dan supervisor
untuk memperhatikan sepenuhnya motivasi dan komitmen bawahan melalui pemberian
delegasi tanggung jawab dan pendayagunaan ketrampilan bawahan.
3) Keyakinan dalam manajemen, cara
ini mampu dilakukan manakala organisasi benar-benar telah menunjukkan dan
mempertahankan kesuksesan. Manajemen yang sukses menunjukkan kepada bawahan
bahwa manajemen tahu benar kemana organisasi ini akan dibawa, tahu dengan benar
bagaimana cara membawa organisasi mencapai keberhasilannya, bahkan sampai pada
kemampuan menterjemahkan rencana ke dalam realitas. Pada konteks ini karyawan
akan melihat bagaimana ketegaran dan kekuatan perusahaan dalam mencapai tujuan
hingga sukses, kesuksesan inilah yang membawa dampak kebanggaan pada diri
karyawan. Apalagi mereka sadar bahwa keterlibatan mereka dalam mencapai
kesuksesan itu cukup besar dan sangat dihargai oleh manajemen.
BAB III
PENUTUP
Komitmen sangatlah penting
dalam suatu organisasi demi menunjang tercapainya tujuan dari organisasi
tersebut. Gambaran atau wujud dari komitmen sering diidentikan dengan ikrar
atau ikatan atas suatu tindakan yang tertentu. Komitmen memiliki berbagai macam
bentuk. Yang pertama adalah komitmen pada tugas, yang kedua komitmen pada
karir, yang ketiga komitmen pada organisasi. Komitmen individu terhadap
organisasi bersifat sukarela dan pribadi, sehingga tidak dapat dipaksakan, dan
karena itu setiap individu anggota organisasi dapat secara bebas menarik
kembali komitmennya. Komitmen dan motivasi sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
budaya yang ada di dalam suatu perusahaan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Partina, Anna.
Menjaga Komitmen Organisasional Pada Saat Downsizing. Dalam Jurnal Telaah
Bisnis Vol 6.2005.
Behavior
Organizations, Gibson, et. al, 1995.
Allen, N.J., & Meyer, J.P. The
measurement and antecedents of affective,
continuance, and normative commitment to
organization. Journal of occupational
psychology, 63, 1990.
Martono, Ilma. Hubungan antara iklim organisasi dengan
keterikatan terhadap
organisasi: Studi pada karyawan perusahaan
“X”. Skripsi Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Depok. 1997.
Rachmayati, Vera. Faktor-faktor
yang mempengaruhi peramalan terhadap
keikatan organisasi pada karyawan perusahaan
“X” di Jakarta. Skripsi Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia, Depok. 1994
Iron-Coated Banger™ Stainless Steel Blade - Vitanium
BalasHapusStainless steel titanium white Blade - Steel Blade. A brass screw holding the razor is titanium expensive blade and unscrews titanium band ring it aftershokz trekz titanium with babyliss pro nano titanium straightener a blade from the blade.