Kamis, 15 Januari 2015

JUAL BELI DAN RIBA (JUAL BELI YANG DILARANG)

JUAL BELI DAN RIBA
(JUAL BELI YANG DILARANG)

 
DIAJUKAN UNTUK TUGAS MATA KULIAH  HADITS AHKAM II
DISUSUN

    
     
     
     




OLEH Kelompok I:
INDRA UTAMA TJ (22. 12. 3. 041)
MUHAMAD KHAIDIR LUBIS (22. 12. 2. 056)




JURUSAN PERBANDINGAN HUKUM DAN MAZHAB (PHM-B) SEM. V  FAKULTAS SYARI’AH  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  
SUMUT (IAIN-SU) 2014




KATA PENGANTAR


            Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat serta karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “JUAL BELI YANG DILARANG ”.          
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.        
            Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada pembaca yang telah berperan serta dalam membahas makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Medan 10  Oktober 2014

                               
                                Penulis












Vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR  ……………………………………………………………..           vi
                        Daftar Isi  ……………………………………………………………           vii
BAB    I          PENDAHULUAN  …………………………………………………           1
A. Latar Belakang  ………………………………………………….            .           1
B. Tujuan Pembuatan Makalah ……………………..………………            1

BAB    II        PEMBAHASAN  …………………………………………………..                        2                      A. jual beli khamar, bangkai, babi & patung.……………………….      2
                        B. Jual Beli Salam  …………………………………………………             5
                        C. Riba  …………………………………........................................              7
                        D. Jual Beli yang belum tampak …………………………………..              9
BAB    III       KESIMPULAN  ……………………………………………………           11
           
DAFTAR KEPUSTAKAAN  …………….…………………………………………          12












 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Hadis merupakan paduan bagi umat Islam dalam mengerjakan segala sesuatu. Bagi siapa yang hanya berpedoman kepada al-Qur’an semata seperti para pengingkar sunnah, maka ia akan mengalami kesulitan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sebab tidak seluruhnya dijelaskan secara mendetail. Untuk itu, hadis sangat berperan dalam menjelaskan kandungan yang terdapat dalam al- Qur’an. Maka  al-Qur’an dan Hadits Nabi adalah ruh bagi umat manusia, khususnya bagi umat Islam. Di samping itu, Islam bukan agama yang hanya berisi perintah dan larangan bagi pemeluknya. Tetapi ia lebih merupakan tuntunan dan paduan hidup yang membawa kepada keselamatan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Jika Allah sudah mengharamkan sesuatu, maka dia juga mengharamkan hasil penjualanya, seperti menjual sesuatu yang terlarang dalam agama. Rasulullah telah melarang menjual bangkai, khamr, babi, patung. Barang siapa yang menjual bangkai, maksudnya daging hewan yang tidak disemblih dengan Asma Allah, ini berarti ia telah menjual bangkai dan memakan hasil yang haram.[1]
B.     Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan dan menambah pengetahuan dan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Hadis Ahkam II”.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    JUAL BELI KHAMAR, BANGKAI, BABI & PATUNG
a)    Hadits tentang Khamar, bangkai, babi dan patung
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّـهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ عَامَ الْـفَتْحِ وَهُوَ بِمَـكَّةَ: ((إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَـيْعَ الْـخَمْرِ وَالْـمَيْـتَةِ وَالْـخِنْـزِيْرِ وَالأَصْـنَامِ))،
Dari Jabir bin Abdillah -radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Saw bersabda pada tahun Fathul (Makkah), dan ia berada di Makkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasulnya mengharamkan jual beli khamr (minuman keras/ segala sesuatu yang memabukkan), bangkai, babi, dan berhala”,[2]
b)     Penjelasan Kosa Kata Hadis
1.      (عَامَ الْـفَتْحِ): adalah Fathu Makkah, terjadi pada tahun ke-8 hijriyah di bulan Ramadhan.
2.      (حَرَّمَ): dengan pengembalian dhamir (kata ganti) kepada satu orang, untuk beretika baik kepada Allah Yang Maha Tinggi KeagunganNya dan Maha Satu KemulianNya.
3.      (الْـمَيْـتَة): dengan harakat fat-hah di atas huruf mim, yaitu hewan yang mati begitu saja, atau hewan yang disembelih dengan tidak sesuai syariat.
4.      (الأَصْـنَام): bentuk tunggalnya adalah: (صَنَمٌ), yaitu berhala yang terbuat dari batu atau pohon atau yang lainnya, dengan bentuk tertentu, untuk disembah.
c)      Pemahaman Atau Syarah Hadis
Syariat Islam yang tinggi ini datang dengan membawa seluruh kemaslahatan bagi umat manusia. Juga telah membawa peringatan dari segala hal yang di dalamnya terdapat madharrat (keburukan) yang akan menimpa akal, tubuh dan agama. Sehingga, syariat Islam membolehkan hal-hal yang baik, sedangkan hal-hal yang baik ini adalah mayoritas makhluk Allah yang telah Ia ciptakan untuk kita semua di bumi ini, dan mengharamkan hal-hal yang buruk. Dan di antara sekian macam hal-hal buruk yang telah diharamkan, adalah empat macam hal yang terbilang dalam hadits ini. Setiap macamnya menunjukkan dan mewakili hal lainnya yang semisal dengannya dalam keburukannya.
Maka, al khamr, yaitu segala sesuatu yang dapat memabukkan dan menutup akal, merupakan sumber keburukan. Dengan mengkonsumsinya, seseorang kehilangan akal yang telah Allah muliakan ia dengannya. Sehingga, seorang yang sedang mabuk akan melakukan perbuatan-perbuatan kemungkaran dan dosa-dosa besar.
Kemudian Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hal berikutnya, yaitu al maitah (bangkai). Yaitu hewan yang tidak mati melainkan mayoritas dengan sebab penyakit atau bakteri mikroba. Atau juga dengan sebab tertahannya darah hewan tersebut, yang membuatnya mati. Maka, memakannya merupakan kemadharratan yang sangat besar bagi tubuh, dan membinasakan kesehatan. Belum lagi, ia adalah bangkai yang menjijikkan, berbau busuk dan najis. Setiap jiwa pasti tidak menyukainya Dan seandainya ia tetap dimakan, walaupun dengan tidak suka dan dengan berhati-hati, ia tetap akan member penyakit (bagi yang memakannya).
Rasululah SAW menyebutkan hewan yang paling buruk, paling tidak disukai dan paling menjijikkan, yaitu babi. Babi adalah hewan yang mengandung berbagai macam penyakit dan bakteri-bakteri mikroba. Hampir-hampir panasnya api tidak dapat membunuhnya dan mematikannya. Maka, bahayanya sangat besar dan kerusakannya sangat banyak. Di samping itu, hewan ini pun hewan yang jorok dan najis.
Nabi Muhammad SAW menyebutkan sesuatu yang bahayanya jauh lebih besar (dari hal-hal sebelumnya), kerusakannya pun sangat besar, yaitu berhala. Berhala merupakan sumber kesesatan manusia dan kesyirikan mereka. Dengannya, Allah Swt diperangi, dipersekutukan dalam ibadah dan hak-haknya. Maka, berhala adalah sumber kesesatan dan kesyirikan.
Maka  empat hal ini adalah hal-hal buruk dan merusak akal, tubuh dan agama. Dan empat hal ini adalah sebagai contoh (yang mewakili hal-hal lainnya) yang buruk. Dan hal ini tidaklah diharamkan melainkan untuk melindungi akal, tubuh, dan agama dari apa-apa yang dapat merusak.
d)     Hukum yang Terdapat dalam Hadis
1.      Haramnya berjual beli khamr, membuatnya, segala sesuatu yang membantu terjadinya dan  meminumnya.
2.      Seluruh hal-hal tadi diharamkan karena mengandung kerusakan dan bahaya yang besar terhadap akal, tubuh, harta, dan akibat-akibat buruk lainnya berupa permusuhan, tindak kriminalitas, dan mara bahaya lainnya yang tidak tersembunyi lagi.
3.      Haramnya bangkai. Baik dagingnya, lemaknya, darahnya, urat-uratnya, dan segala sesuatu yang masuk kepadanya kehidupan dari bagian-bagian tubuhnya.
4.      Haramnya berjual beli babi. Haram pula memakannya, menyentuhnya dan mendekatinya. Karena babi adalah hewan yang buruk dan kotor yang terdapat padanya kerusakan murni, tidak ada maslahatnya sama sekali. Bahaya darinya yang menimpa tubuh dan akal sangatlah besar. Karena babi dapat meracuni tubuh dengan segala penyakit yang terkandung padanya. Mengakibatkan orang yang mengkonsumsinya memiliki sifat buruk pula seperti babi. Dan hal ini adalah sebuah realita yang telah terjadi dan telah kita saksikan pada orang-orang yang terbiasa mengkonsumsinya. Mereka juga dikenal dengan frigiditas (sifat dingin).
5.      Haramnya berjual beli berhala. Dikarenakan dapat mengakibatkan kerusakan yang sangat besar bagi akal dan agama, (terlebih lagi) jika berhala ini dijadikan sesembahan dan melariskannya dalam rangka membangkang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.




B.     JUAL BELI SALAM
a)      Pengertian Bai’ As-Salam
Secara bahasa, salam (­­سلم) adalah  al-i'tha' (الإعطاء) dan  at-taslif  (التسليف).   Keduanya bermakna pemberian.[3] Sedangkan  secara  istilah  syariah,  akad  salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا).  Jual-beli  barang yang Disebutkan   sifatnya dalam   tanggungan   dengan   imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.[4]
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari  dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
b)     Hadits tentang jual beli salam
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." (Muttafaq Alaih). Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."[5]
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِك)  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ 
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari)[6]
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salam diperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.
c)      Rukun Bai’ As-Salam
Pelaksanaan bai’ as-Salam harus memenuhi sejumlah rukun sebagai berikut:
1)      Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
2)      Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
3)      Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
4)      Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan.
5)      Shigat adalah ijab dan qabul.
d)     Syarat jual beli salam
Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah sebagai berikut:[7]
1)      Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2)      Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3)      Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad.
4)      Ijab dan qabul
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.[8]
Tentang periode minimum pengiriman, para fuqaha memiliki pendapat berikut:
a)      Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. Untuk beberapa penundaan,selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika penjual meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan. Dalam Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika penjual meninggal dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapi belum menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli,barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan pembeli yang ada di tangan penjual.
b)      Menurut Syafi’i salam dapat segera dan tertunda.
c)      Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.

C.    RIBA
a)      Pengertian Riba
Menurut bahasa Riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
1)      الزيادة yang berarti bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2)       النّام yang berarti berkembang atu berbunga, karena salah datu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam  secara bathil atau bertentangan dengan prinsip mu’amalah dalam islam.
b)      Macam-Macam Riba
Menurut para ulama fiqih, riba dapat dibagi menjadi empat macam, masing-masing :
1)      Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan.
Contoh : tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan sebagainya.
2)      Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami atau mempiutangi.           
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
3)      Riba Yad yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya : orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut dari sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
1.      Riba Nasi’ah yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupn tidak sejenis yang pembayarannya disyaraktkan lebih, dengan diakhiri atau dilambatkan oleh yang meminjam.
Contoh : Aminah membeli cincin seberat 10 Gram. Ole penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan apalagi terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun.
Namun didalam qur an surah ali imron riba ini hanya dibagi menjadi kepada dua saja yaitu nasiah dan fadhal.
c)      Hukum Riba
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah Menghalalkan jual beli dan Mengharamkan riba. Berdasarkan  pernyataan  diatas,  Allah telah terang-terangan mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli untuk umat-Nya. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah SWT :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè?
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[228] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q. S. Ali Imron : 130)
d)     Hadits Tentang Riba
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (مسلم)

Dikatakan Muhammad ibn ash-shobbah dan zuhairu ibn harb dan utsmann ibn abi syaibah mereka berkata diceritakan husyaim dikabarkan abu zubair dari jabir r.a beliau berkata : Rasulullah SAW mengutuk makan riba, wakilnya dan penulisnya, serta dua orang saksinya dan beliau mengatakan mereka itu sama-sama dikutuk. (Diriwayatkan oleh muslim).

D.    JUAL BELI BARANG YANG BELUM TAMPAK
a)      Hadits tentang jual beli yang belum tampak
لا تشتروا السمك فى ا لما ء فا نه غر و ر    (ر و اه ا حمد)                             
Artinya:
“Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena jual-beli seperti itu termasuk gharar (menipu).”

Dalam hukum jual-beli harus terlebih dahulu diketahui barangnya dan jelas barangnya, dengan tujuan agar tidak terjadi gharar yaitu ketidak pastian/spekulasi dan agar tidak ada yang terzalimi dalam jual-beli. Ma’dum yang merupakan jual-beli yang barangnya tidak ada atau belum ada juga dilarang dalam hukum Islam, sebagaimana hadis diatas yang diriwayatkan Ahmad yaitu larangan menjual atau jual-beli ikan dalam air atau yang masih ada dalam air seperti dalam sungai atau di dalam laut. Ikan yang masih ada dalam air tersebut tidak jelas barangnya karena tidak diketahui seberapa banyak ikan yang ada di dalam air tersebut, apakah harga jualnya sebanding dengan ikan yang ada di dalam air atau malah merugikan salah satu pihak antara penjual dan pembeli. Misalnya dalam sebuah kasus Pak Hasan seorang pedagang ikan di pasar Suka Damai telah membeli ikan kepada Pak Nor,  yang ikan tersebut masih ada dalam sungai dekat rumah Pak Nor. Kemudian Pak Hasan baru mengetahui setelah ia membayar dan akan menangkap ikan-ikan tersebut bahwa ikan yang ada dalam sungai tersebut tak sebanding dengan harga yang ia bayar. Mengetahui hal tersebut Pak Hasan merasa dirugikan  telah membeli ikan yang masih ada dalam air tersebut. Pak Hasan pun tidak terima dengan hal tersebut, ia meminta uangnya di kembalikan. Tapi, Pak Nor tidak mau karena baginya semua sudah menjadi resiko bagi Pak Hasan.
Dalam kasus di atas nampak jelas bahwa akan menimbulkan masalah antara kedua belah pihak yaitu antara penjual dan pembeli. Dalam kasus terdapat beberapa larangan dalam jual-beli, yaitu:
1)      Barang yang diperjual-belikan tidak tampak, karena ikan sebagai barang yang diperjual-belikan masih ada dalam air, bukan hasil tangkapan dari Pak Nor.
2)      Barang yang diperjual-belikan bukan hak milik pribadi, tapi untuk kemaslahatan bersama. Karena sungai tersebut bukan milik pribadi Pak Nor. Dalam jual-beli juga ada larangan dalam jual-beli air, seperti air sungai atau air laut.

BAB III
PENUTUP
Sekianlah isi makalah ini yang dapat kami perbuat mohon maaf atas segala kekurangannya, dan kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna mudah-mudahan pekalah sesudah kami ini dapat lebih sempurna lagi isi makalahnya.


























DAFTAR KEPUSTAKAAN
Suhardi Kathur, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002).
Farid Nashr Muhammad Washil, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009).
Zuhaili Wahbah, Al-fiqhu Asy-syafi’iyyah Al-Muyassar, (Beirut: Darul Fikr, 2008).
M Abu al-Walid ibnu Ahmad ibnu Rusyd al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Darul Fikri, 2004).
Hajar Ibnu Al-‘Atsqolany. Bulughul Maram min Adillatil ahkam, (Surabaya:  Mutiara Ilmu, 2011).
Syafe’i Rahmat, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004).
Al-Zuhaily Wahbah. Al-fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikri, 2007).


[1] Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002), Hal. 57
[2] Nashr Farid Muhammad Washil, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), Hal.17  
[3] Salam yang dimaksud dalam pembahasan ini terdiri dari tiga huruf : sin-lam-mim (سلم), artinya adalah penyerahan dan bukan berarti perdamaian. Dari kata salam inilah istilah Islam punya akar yang salah satu maknanya adalah berserah-diri. Sedangkan kata salam yang bermakna perdamaian terdiri dari 4 huruf, sin-lam-alif-mim (سلام).
[4] Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-syafi’iyyah Al-Muyassar, (Beirut: Darul Fikr, 2008), h. 26.
[5] Abu al-Walid M ibnu Ahmad ibnu Rusyd al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Darul Fikri, 2004) h. 162.
[6] Ibnu Hajar Al-‘Atsqolany. Bulughul Maram min Adillatil ahkam, (Surabaya:  Mutiara Ilmu, 2011), h.382-383.
[7] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 33.
[8] Wahbah Al-Zuhaily. Al-fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikri, 2007), h. 3603-3605.

0 komentar:

Posting Komentar