Kamis, 15 Januari 2015
JUAL BELI DAN RIBA (JUAL BELI YANG DILARANG)
JUAL BELI DAN RIBA
(JUAL BELI YANG DILARANG)
DIAJUKAN UNTUK TUGAS MATA KULIAH HADITS AHKAM II
DISUSUN
OLEH Kelompok I:
INDRA
UTAMA TJ (22. 12. 3. 041)
MUHAMAD
KHAIDIR LUBIS (22. 12. 2. 056)
JURUSAN PERBANDINGAN HUKUM DAN MAZHAB (PHM-B) SEM. V
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMUT (IAIN-SU) 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat serta karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “JUAL BELI YANG DILARANG ”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada pembaca yang telah berperan serta dalam membahas makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Medan
10 Oktober 2014
Penulis
Penulis
Vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. vi
Daftar Isi
…………………………………………………………… vii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
A.
Latar
Belakang …………………………………………………. . 1
B.
Tujuan Pembuatan
Makalah ……………………..……………… 1
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………….. 2 A. jual beli khamar, bangkai, babi & patung.………………………. 2
B. Jual Beli Salam ………………………………………………… 5
C. Riba …………………………………........................................ 7
D. Jual Beli yang belum
tampak ………………………………….. 9
BAB III
KESIMPULAN …………………………………………………… 11
DAFTAR KEPUSTAKAAN …………….………………………………………… 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hadis merupakan paduan bagi umat
Islam dalam mengerjakan segala sesuatu. Bagi siapa yang hanya berpedoman kepada
al-Qur’an semata seperti para pengingkar sunnah, maka ia akan mengalami
kesulitan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sebab tidak seluruhnya dijelaskan
secara mendetail. Untuk itu, hadis sangat berperan dalam menjelaskan kandungan
yang terdapat dalam al- Qur’an. Maka al-Qur’an dan Hadits Nabi adalah ruh
bagi umat manusia, khususnya bagi umat Islam. Di samping itu, Islam bukan agama
yang hanya berisi perintah dan larangan bagi pemeluknya. Tetapi ia lebih
merupakan tuntunan dan paduan hidup yang membawa kepada keselamatan hidup di
dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Jika Allah sudah mengharamkan
sesuatu, maka dia juga mengharamkan hasil penjualanya, seperti menjual sesuatu
yang terlarang dalam agama. Rasulullah telah melarang menjual bangkai, khamr,
babi, patung. Barang siapa yang menjual bangkai, maksudnya daging hewan yang
tidak disemblih dengan Asma Allah, ini berarti ia telah menjual bangkai dan
memakan hasil yang haram.[1]
B.
Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini penulis buat dengan
tujuan untuk mengembangkan dan menambah pengetahuan dan untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah “Hadis Ahkam II”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. JUAL
BELI KHAMAR, BANGKAI, BABI & PATUNG
a) Hadits
tentang Khamar, bangkai, babi dan patung
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّـهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُوْلُ عَامَ الْـفَتْحِ وَهُوَ بِمَـكَّةَ: ((إِنَّ اللهَ
وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَـيْعَ الْـخَمْرِ وَالْـمَيْـتَةِ وَالْـخِنْـزِيْرِ
وَالأَصْـنَامِ))،
Dari Jabir bin Abdillah
-radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Saw bersabda pada
tahun Fathul (Makkah), dan ia berada di Makkah, “Sesungguhnya Allah dan
Rasulnya mengharamkan jual beli khamr (minuman keras/ segala sesuatu yang
memabukkan), bangkai, babi, dan berhala”,[2]
b) Penjelasan
Kosa Kata Hadis
1. (عَامَ
الْـفَتْحِ): adalah Fathu Makkah, terjadi pada
tahun ke-8 hijriyah di bulan Ramadhan.
2. (حَرَّمَ): dengan pengembalian dhamir (kata
ganti) kepada satu orang, untuk beretika baik kepada Allah Yang Maha Tinggi
KeagunganNya dan Maha Satu KemulianNya.
3. (الْـمَيْـتَة): dengan harakat fat-hah di
atas huruf mim, yaitu hewan yang mati begitu saja, atau hewan yang
disembelih dengan tidak sesuai syariat.
4. (الأَصْـنَام): bentuk tunggalnya adalah: (صَنَمٌ), yaitu berhala yang terbuat dari batu atau
pohon atau yang lainnya, dengan bentuk tertentu, untuk disembah.
c) Pemahaman
Atau Syarah Hadis
Syariat Islam yang tinggi ini
datang dengan membawa seluruh kemaslahatan bagi umat manusia. Juga telah
membawa peringatan dari segala hal yang di dalamnya terdapat madharrat (keburukan)
yang akan menimpa akal, tubuh dan agama. Sehingga, syariat Islam membolehkan
hal-hal yang baik, sedangkan hal-hal yang baik ini adalah mayoritas makhluk
Allah yang telah Ia ciptakan untuk kita semua di bumi ini, dan mengharamkan
hal-hal yang buruk. Dan di antara sekian macam hal-hal buruk yang telah
diharamkan, adalah empat macam hal yang terbilang dalam hadits ini. Setiap
macamnya menunjukkan dan mewakili hal lainnya yang semisal dengannya dalam
keburukannya.
Maka, al khamr,
yaitu segala sesuatu yang dapat memabukkan dan menutup akal, merupakan sumber
keburukan. Dengan mengkonsumsinya, seseorang kehilangan akal yang telah Allah
muliakan ia dengannya. Sehingga, seorang yang sedang mabuk akan melakukan
perbuatan-perbuatan kemungkaran dan dosa-dosa besar.
Kemudian Rasululah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan hal berikutnya, yaitu al
maitah (bangkai). Yaitu hewan yang tidak mati melainkan mayoritas
dengan sebab penyakit atau bakteri mikroba. Atau juga dengan sebab tertahannya
darah hewan tersebut, yang membuatnya mati. Maka, memakannya merupakan kemadharratan
yang sangat besar bagi tubuh, dan membinasakan kesehatan. Belum lagi, ia adalah
bangkai yang menjijikkan, berbau busuk dan najis. Setiap jiwa pasti tidak
menyukainya Dan seandainya ia tetap dimakan, walaupun dengan tidak suka dan
dengan berhati-hati, ia tetap akan member penyakit (bagi yang memakannya).
Rasululah SAW menyebutkan
hewan yang paling buruk, paling tidak disukai dan paling menjijikkan,
yaitu babi. Babi adalah hewan yang mengandung berbagai macam penyakit
dan bakteri-bakteri mikroba. Hampir-hampir panasnya api tidak dapat membunuhnya
dan mematikannya. Maka, bahayanya sangat besar dan kerusakannya sangat banyak.
Di samping itu, hewan ini pun hewan yang jorok dan najis.
Nabi
Muhammad SAW menyebutkan sesuatu yang bahayanya jauh lebih besar
(dari hal-hal sebelumnya), kerusakannya pun sangat besar, yaitu berhala.
Berhala merupakan sumber kesesatan manusia dan kesyirikan mereka. Dengannya,
Allah Swt diperangi, dipersekutukan dalam ibadah dan hak-haknya.
Maka, berhala adalah sumber kesesatan dan kesyirikan.
Maka empat hal ini adalah
hal-hal buruk dan merusak akal, tubuh dan agama. Dan empat hal ini adalah
sebagai contoh (yang mewakili hal-hal lainnya) yang buruk. Dan hal ini tidaklah
diharamkan melainkan untuk melindungi akal, tubuh, dan agama dari apa-apa yang
dapat merusak.
d) Hukum
yang Terdapat dalam Hadis
1. Haramnya berjual beli khamr,
membuatnya, segala sesuatu yang membantu terjadinya dan meminumnya.
2. Seluruh hal-hal tadi diharamkan
karena mengandung kerusakan dan bahaya yang besar terhadap akal, tubuh, harta,
dan akibat-akibat buruk lainnya berupa permusuhan, tindak kriminalitas, dan
mara bahaya lainnya yang tidak tersembunyi lagi.
3. Haramnya bangkai. Baik dagingnya,
lemaknya, darahnya, urat-uratnya, dan segala sesuatu yang masuk kepadanya
kehidupan dari bagian-bagian tubuhnya.
4. Haramnya berjual beli babi. Haram
pula memakannya, menyentuhnya dan mendekatinya. Karena babi adalah hewan yang
buruk dan kotor yang terdapat padanya kerusakan murni, tidak ada maslahatnya
sama sekali. Bahaya darinya yang menimpa tubuh dan akal sangatlah besar. Karena
babi dapat meracuni tubuh dengan segala penyakit yang terkandung padanya.
Mengakibatkan orang yang mengkonsumsinya memiliki sifat buruk pula seperti
babi. Dan hal ini adalah sebuah realita yang telah terjadi dan telah kita
saksikan pada orang-orang yang terbiasa mengkonsumsinya. Mereka juga dikenal
dengan frigiditas (sifat dingin).
5. Haramnya berjual beli berhala.
Dikarenakan dapat mengakibatkan kerusakan yang sangat besar bagi akal dan
agama, (terlebih lagi) jika berhala ini dijadikan sesembahan dan melariskannya
dalam rangka membangkang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
B. JUAL
BELI SALAM
a)
Pengertian Bai’ As-Salam
Secara bahasa,
salam (سلم)
adalah al-i'tha' (الإعطاء) dan at-taslif (التسليف). Keduanya bermakna pemberian.[3]
Sedangkan secara istilah syariah, akad salam
sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا). Jual-beli barang
yang Disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan
imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan
sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya
diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah
akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan
secara tunai.[4]
Secara lebih
rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan
penyerahan barang di kemudian hari dengan harga, spesifikasi,
jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati
sebelumnya dalam perjanjian.
b)
Hadits tentang jual beli salam
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ:
قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي
اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ
فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun
dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka
hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." (Muttafaq
Alaih). Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."[5]
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ
اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ
اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا
أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ
وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ
ذَلِك) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa
Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu
kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering
-dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang
bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak
menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari)[6]
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salam
diperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.
c)
Rukun Bai’ As-Salam
Pelaksanaan bai’ as-Salam harus memenuhi
sejumlah rukun sebagai berikut:
1) Muslam (pembeli)
adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
2) Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
3) Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
4) Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan.
5) Shigat adalah ijab dan qabul.
d)
Syarat jual beli salam
Syarat-syarat
sahnya jual beli salam adalah sebagai berikut:[7]
1) Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan
baligh.
2) Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis,
ciri-ciri, dan ukurannya.
3) Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta
dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad.
4) Ijab dan qabul
Para imam
mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam
syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya
barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar
uangnya, jelas tempat penyerahannya.[8]
Tentang
periode minimum pengiriman, para fuqaha memiliki pendapat
berikut:
a) Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu
bulan. Untuk beberapa penundaan,selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika
penjual meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan.
Dalam Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika penjual meninggal
dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapi belum menyerahkan barang
yang dijual kepada pembeli,barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan
pembeli yang ada di tangan penjual.
b) Menurut Syafi’i salam dapat segera dan tertunda.
c) Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.
C. RIBA
a) Pengertian
Riba
Menurut bahasa Riba memiliki
beberapa pengertian, yaitu :
1) الزيادة yang berarti bertambah, karena salah satu perbuatan riba
adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2) النّام yang berarti berkembang atu
berbunga, karena salah datu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau
yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam
meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip mu’amalah
dalam islam.
b) Macam-Macam Riba
Menurut para ulama fiqih, riba dapat dibagi menjadi empat macam,
masing-masing :
1)
Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua
barang yang sama jenisnya dengan tidak sama timbangannya atau takarannya yang
disyaratkan oleh orang yang menukarkan.
Contoh : tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan sebagainya.
Contoh : tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan sebagainya.
2)
Riba Qardh, yaitu meminjamkan
sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami
atau mempiutangi.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
3) Riba Yad yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya :
orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang
tersebut dari sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli
seperti itu tidak boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak
pertama.
1. Riba Nasi’ah yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupn tidak sejenis
yang pembayarannya disyaraktkan lebih, dengan diakhiri atau dilambatkan oleh
yang meminjam.
Contoh : Aminah membeli cincin seberat 10 Gram. Ole penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan apalagi terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun. Namun didalam qur an surah ali imron riba ini hanya dibagi menjadi kepada dua saja yaitu nasiah dan fadhal.
Contoh : Aminah membeli cincin seberat 10 Gram. Ole penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan apalagi terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun. Namun didalam qur an surah ali imron riba ini hanya dibagi menjadi kepada dua saja yaitu nasiah dan fadhal.
c) Hukum
Riba
Orang-orang yang memakan riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan
karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama
dengan riba. Padahal Allah telah Menghalalkan jual beli
dan Mengharamkan riba. Berdasarkan pernyataan
diatas, Allah telah
terang-terangan mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli untuk
umat-Nya. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah SWT :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè?
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[228] dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q. S. Ali Imron : 130)
d) Hadits Tentang Riba
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ
حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا
أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ
هُمْ سَوَاءٌ (مسلم)
Dikatakan Muhammad ibn ash-shobbah
dan zuhairu ibn harb dan utsmann ibn abi syaibah mereka berkata diceritakan
husyaim dikabarkan abu zubair dari jabir r.a beliau berkata : Rasulullah SAW
mengutuk makan riba, wakilnya dan penulisnya, serta dua orang saksinya dan
beliau mengatakan mereka itu sama-sama dikutuk. (Diriwayatkan oleh muslim).
D. JUAL
BELI BARANG YANG BELUM TAMPAK
a) Hadits
tentang jual beli yang belum tampak
لا تشتروا
السمك فى ا لما ء فا نه غر و ر (ر و اه
ا حمد)
Artinya:
“Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena
jual-beli seperti itu termasuk gharar (menipu).”
Dalam hukum
jual-beli harus terlebih dahulu diketahui barangnya dan jelas barangnya, dengan
tujuan agar tidak terjadi gharar yaitu ketidak pastian/spekulasi dan agar tidak
ada yang terzalimi dalam jual-beli. Ma’dum yang merupakan jual-beli yang
barangnya tidak ada atau belum ada juga dilarang dalam hukum Islam, sebagaimana
hadis diatas yang diriwayatkan Ahmad yaitu larangan menjual atau jual-beli ikan
dalam air atau yang masih ada dalam air seperti dalam sungai atau di dalam
laut. Ikan yang masih ada dalam air tersebut tidak jelas barangnya karena tidak
diketahui seberapa banyak ikan yang ada di dalam air tersebut, apakah harga
jualnya sebanding dengan ikan yang ada di dalam air atau malah merugikan salah
satu pihak antara penjual dan pembeli. Misalnya dalam sebuah kasus Pak Hasan
seorang pedagang ikan di pasar Suka Damai telah membeli ikan kepada Pak
Nor, yang ikan tersebut masih ada dalam
sungai dekat rumah Pak Nor. Kemudian Pak Hasan baru mengetahui setelah ia
membayar dan akan menangkap ikan-ikan tersebut bahwa ikan yang ada dalam sungai
tersebut tak sebanding dengan harga yang ia bayar. Mengetahui hal tersebut Pak
Hasan merasa dirugikan telah membeli
ikan yang masih ada dalam air tersebut. Pak Hasan pun tidak terima dengan hal
tersebut, ia meminta uangnya di kembalikan. Tapi, Pak Nor tidak mau karena
baginya semua sudah menjadi resiko bagi Pak Hasan.
Dalam kasus di
atas nampak jelas bahwa akan menimbulkan masalah antara kedua belah pihak yaitu
antara penjual dan pembeli. Dalam kasus terdapat beberapa larangan dalam
jual-beli, yaitu:
1) Barang yang diperjual-belikan tidak tampak, karena ikan
sebagai barang yang diperjual-belikan masih ada dalam air, bukan hasil
tangkapan dari Pak Nor.
2) Barang yang diperjual-belikan bukan hak milik pribadi,
tapi untuk kemaslahatan bersama. Karena sungai tersebut bukan milik pribadi Pak
Nor. Dalam jual-beli juga ada larangan dalam jual-beli air, seperti air sungai
atau air laut.
BAB III
PENUTUP
Sekianlah isi
makalah ini yang dapat kami perbuat mohon maaf atas segala kekurangannya, dan
kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna mudah-mudahan
pekalah sesudah kami ini dapat lebih sempurna lagi isi makalahnya.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Suhardi Kathur, Edisi Indonesia:
Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002).
Farid Nashr Muhammad Washil, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah,
2009).
Zuhaili
Wahbah, Al-fiqhu Asy-syafi’iyyah Al-Muyassar, (Beirut: Darul Fikr,
2008).
M Abu al-Walid
ibnu Ahmad ibnu Rusyd al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Darul Fikri, 2004).
Hajar Ibnu
Al-‘Atsqolany. Bulughul Maram min Adillatil ahkam,
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2011).
Syafe’i
Rahmat, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004).
Al-Zuhaily
Wahbah. Al-fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikri,
2007).
[1] Kathur
Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim,
(Jakarta: Darul Falah, 2002), Hal. 57
[3]
Salam yang dimaksud dalam pembahasan ini terdiri dari tiga huruf :
sin-lam-mim (سلم),
artinya adalah penyerahan dan bukan berarti perdamaian. Dari kata salam inilah
istilah Islam punya akar yang salah satu maknanya adalah berserah-diri.
Sedangkan kata salam yang bermakna perdamaian terdiri dari 4 huruf,
sin-lam-alif-mim (سلام).
[4] Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu
Asy-syafi’iyyah Al-Muyassar, (Beirut: Darul Fikr, 2008), h. 26.
[5] Abu al-Walid M ibnu Ahmad
ibnu Rusyd al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid, (Beirut: Darul Fikri, 2004) h. 162.
[6] Ibnu Hajar
Al-‘Atsqolany. Bulughul Maram min Adillatil ahkam,
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2011), h.382-383.
[7] Rahmat Syafe’i, Fiqih
Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 33.
[8] Wahbah Al-Zuhaily. Al-fiqhu
Al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikri, 2007), h. 3603-3605.